Senin, 12 November 2018

Kangen Rumah?


Ada keyakinan aku mewarisi sebagian bakat dan kecerdasan dari bapak, tapi meyakini juga ibuku berperan penting atas pencapaian yang kudapat hingga sekarang. Beberapa kali ibu bilang, “Anaknya ibu pasti bisa!”. Meski nampak sekali keinginan perkataannya diterima, lebih besar ketimbang kesadaran atas keyakinannya itu. Lantas beliau memperjelas alasan perkataannya dengan cerita kedua orang tuanya yang buta aksara, tetapi mampu menyekolahkan kelima putrinya hingga tamat wajib sekolah (di jaman itu), hingga menikahkan mereka, bahkan masih bisa meninggalkan tanah warisan di beberapa tempat.
Kemudian kisah itu didukung, saat satu waktu masku yang tertua bilang, “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, (kecuali ketentuan Allah)”.
Yea, ngga terelakkan lagi.
Sebagai anak ragil, masku yang anak tengah pun berhasil meyakinkanku bahwa, “Aku adalah apa yang aku yakini”. Penjelasan gampangnya, jika seseorang meyakini dirinya memiliki daya tarik, meski tampilannya biasa, orang lain tetap memandangnya sebagai seorang yang mempesona.
Tumbuh dengan didikan semacam itu dari keluarga. Kini saat merantau muncul pertanyaan.
Kenapa aku ga kangen pulang ke rumah?

Senin, 28 November 2016

Akui dan Maafkan

Apakah harus, seorang anak mendapat contoh baik dari orang tuanya saja dan contoh buruk dari orang lain saja?

Apakah salah, jika orang tua mengakui pada anaknya tentang kesalahannya di masa lalu?

Entahlah.

Aku memilih untuk menjawab jujur ketika keponakanku menanyakan kesalahan yang pernah aku lakukan.

Lebih dari sekedar memberikan contoh kesalahan yang kusesali, tapi aku ingin dia bisa tumbuh tanpa kesulitan untuk memaafkan diri sendiri. Bukankah biasanya orang sulit memaafkan kesalahan pihak lain karena sebenarnya ia tidak mampu memaafkan kebodohannya sendiri atas rasa percayanya pada orang yang ia salahkan?

Terserah. Pahami saja apa yang kebanyakan orang pahami. Itu lebih mudah..

Senin, 26 September 2016

Itu Saja


Apa akan ada masalah kalau aku tidak datang? Apa ada cara agar acaranya bisa cepat selesai? Rasanya malas sekali datang ke sekolah hari ini.. Fuh, bertahanlah sedikit lagi, Somad. Setelah acara penyerahan sertifikat ini selesai aku akan langsung pulang dan mengemasi barang-barang. Besok pagi aku akan berangkat. Rasanya tidak sabar ingin cepat pergi dari sini.

Sejak SD aku berprestasi. Saat SMP menang olimpiade matematika tingkat provinsi. SMA kelas 2 dapat juara di olimpiade sains tingkat nasional. Pekan lalu aku tercatat Rekor Muri karena prestasi di bidang ilmu eksak, dan beberapa hari yang lalu aku mendapat tawaran beasiswa kuliah dan kontrak kerja dari perusahaan multinasional. Hari ini jadwalku adalah acara penyerahan sertifikat dari Muri atas rekorku yang sudah tercatat pekan lalu. Besok aku akan berangkat ke Jepang. Pekan depan aku akan mulai kuliah sambil bekerja, sesuai dengan kontrak yang sudah aku tanda tangani.

Drrt.. Drrt..!

Oh, SMS dari Rusli. “Somad, kamu jadi berangkat besok? Nanti sore bisa datang ke kafe? Yang lain juga akan datang. Anggap saja ini kumpul bareng terakhir sebelum kamu ke Jepang.. Bisa kan?”. Aku ketik OK, dan send.

Mereka biasa memanggilku Somad. Terdengar tidak jauh berbeda saat teman-temanku dengan logat lokalnya yang kental mengatakan istilah “Smart” dengan meniru aksen british. Nama panggilan ini ada sejak aku kelas 5 SD.

Apa yang aku lakukan hingga bisa mencapai semua prestasi itu? Sains terkesan menyeramkan bagi anak lain seusiaku, kenapa aku tidak begitu? Apa motivasiku untuk terus belajar? Itu yang mereka tanyakan padaku. Jawabanku selalu sama.

“Aku suka sains” dan “Itu saja”.

Tapi andai di dunia ini ada orang yang bisa membaca pikiranku, tentu jawaban yang didengar akan berbeda.

“Karena aku benci orang tuaku”.

Pagi ini, hari terakhir aku tinggal serumah dengan orang tuaku, aku kembali teringat yang aku alami beberapa tahun yang lalu.

Satu kejadian saat aku kelas 5 SD ...

“Ayah, tadi bu gurunya Reza telepon. Katanya Reza mendapat nilai di bawah rata-rata di beberapa pelajaran. Bu guru meminta kita lebih serius dengan cara belajar Reza, karena nilai-nilai yang lalu juga kurang dari cukup”, itu yang kudengar dari ibu. Lalu jawaban ayah, “Coba ibu bicara dengan Reza”.

Aku pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka saat ibu mendatangiku ke dalam kamar. Pasang wajah biasa saja. Aku ingin tahu apa yang akan ibu katakan. Lalu ibu memulai pembicaraan denganku dengan menceritakan hal yang sama seperti yang dikatakan kepada ayah.

“Iya”, itu saja responku.

“Reza, ayahmu tiap hari pulang kerja malam-malam itu demi kamu. Ibu juga kerja mengajar, ini semua demi kamu. Ayah dan ibumu ingin kamu jadi anak pintar yang bisa buat ayah dan ibu bangga. Apa kata orang kalau tahu ini? Ayahnya pegawai dinas pendidikan dan ibunya dosen, tapi anaknya kok begitu? Ibu minta kamu mengerti, nak. Jangan malas-malas belajarnya. Kalau kamu pintar, itu juga untuk masa depanmu sendiri. Semester lalu nilaimu juga kurang, karena itu ibu mendaftarkanmu les. Sebentar lagi ujian kenaikan kelas, belajar yang benar ya! Jangan sampai kamu tidak naik kelas”.

Aku diam saja, aku pikir sebaiknya aku tidak katakan apapun. Karena aku tak banyak merespon, ibu meninggalkanku dan keluar kamar. Pintunya tidak ditutup. Di luar kamar, aku lihat ayah duduk di sana. Aku masih di sini, di dalam kamar, berusaha menguatkan diriku sebentar, lalu memberanikan diri untuk keluar dan mendekat ke ayah. Di saat yang sama, ibu menata duduknya di sebelah ayah setelah meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja.

“Bagaimana kalau aku ternyata tidak naik kelas?”. Entah kenapa, tapi aku ingin sekali menanyakannya.

“Ayah tidak mau tahu, kamu harus naik kelas”.

“Tapi bagaimana kalau ternyata aku benar-benar tidak naik kelas?”. Kali ini aku benar-benar merasa penasaran.

“Tidak cuma kamu, justru ayah dan ibu akan lebih malu lagi”, kali ini ibu yang jawab. Aku hanya memandangi mereka, berharap ada tanggapan lagi. Suasana pun jadi hening sejenak.

“Kalau memang begitu, ayah dan ibu akan menemui bu gurumu. Kalau perlu kepala sekolahmu juga. Mungkin perlu bawa bingkisan atau menyiapkan beberapa uang untuk membujuknya”, itu yang ayah katakan.

“Setelah itu mungkin kamu harus mengerjakan ujian tambahan, ujian khusus untukmu saja. Tapi kamu tidak usah pikirkan itu sekarang, pikirkan ujianmu yang minggu depan itu dulu”, tambah ibu.

Aku masih diam disitu beberapa saat. Mungkin bagi mereka aku tampak seperti belum puas dengan jawaban mereka. Entahlah. Sampai besoknya aku tidak banyak bicara. Besok-besoknya juga. Besok-besok-besoknya juga. Sebenarnya sejak awal aku berharap salah satu dari mereka, ayah atau ibu, bertanya padaku, “Kenapa kamu dapat nilai jelek, nak?”. Itu saja. Sungguh itu saja yang aku harapkan.

Aku tidak banyak bicara beberapa hari setelah itu. Aku juga tidak bermain dengan teman-teman, rasanya malas sekali. Sampai akhir pekan, tepatnya malam sebelum ujian kenaikan kelas. Rasanya aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Aku ingin sekali marah. Dalam hati aku bergumam, “Ini sudah batasnya”.

Apa mereka benar-benar tidak ingin tahu mengapa aku mendapat nilai jelek? Apa mereka sama sekali tidak terpikirkan tentang hal itu? Bahwa bukankah seharusnya ada alasan atau sebab-sebab tertentu yang menghambat belajarku? Apa mereka benar-benar berpikir aku malas belajar dan ingin menjadi bodoh? Itu konyol!

Dan mengapa ibu selalu mengulang kata itu.. “Apa kata orang?” Memangnya ibu mendidikku demi ditunjukkan ke orang-orang? Bahkan ayah memilih menyuap guru demi anaknya yang bodoh ini naik kelas. Apa aku tidak boleh punya kekurangan? Apa mereka menyekolahkan aku di sekolah favorit demi nama baik mereka saja? Apa mereka tidak ingin tahu apa yang aku pikirkan atau aku rasakan? Ini sudah berhari-hari. Bahkan berbulan-bulan jika dihitung sejak nilai jelek yang kudapat semester lalu. Aku memang tidak amat sangat serius belajar, tapi aku juga tidak malas. Nilaiku yang jelek itu juga adalah hal serius bagiku”.

“Ayah, aku tidak ingin hadiah. Ibu, aku juga tidak berharap dipuji. Tapi tolong, sekali saja tanyakan apa yang aku rasakan. Sebenarnya aku pun kecewa pada diriku sendiri. Apa mereka tidak menyadari itu? ... Aku benci ini. Aku benci diriku sendiri. Aku benci mereka!”.

Malam itu, aku ada dalam kamar, terkunci dari dalam. Mataku sedikit berkaca-kaca dan tanganku mengepal kuat. Rasanya darah di kepalaku mendidih mengingat sikap dan perkataan mereka.

Dan...akhirnya aku putuskan. Aku akan menjadi anak pintar seperti yang mereka inginkan. Sudah jelas ungkapan kekecewaan mereka akan jauh lebih mengecewakanku. Aku akan berprestasi. Biar mereka puas!

Sejak saat itu aku jadi pendiam. Aku tidak banyak bermain dan tidak banyak teman. Hanya belajar. Lalu aku menjadi terus berprestasi. Itu pun sepertinya tidak cukup memuaskan ayah dan ibu.

Hingga hari itu, saat mereka diminta menyampaikan kesan dari orang tua atas prestasi anaknya yang berhasil tercatat dalam rekor, juga juara olimpiade nasional. Di atas podium dan di depan orang-orang mereka bilang, “Kami bangga atas prestasi anak kami”. Mendengarnya sudah cukup bagiku untuk memutuskan segera menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan multi nasional dan ingin segera pergi.

Setelah itu, aku berniat sebaiknya selama di Jepang nanti jarang-jarang pulang saja. Aku akan kirimkan surat berisi kemajuan prestasi kerjaku dan menyelipkan di dalamnya sebagian uang gajiku kepada mereka tiap akhir bulan. Kalau perlu aku buat alasan sibuk bekerja agar tidak usah pulang ke Indonesia saat libur panjang.

Lihat saja, aku bisa menebak pesan mereka saat mengantarku di bandara nanti. “Giatlah bekerja, tunjukkan prestasimu, dan jadilah bos besar. Nanti sekali-kali kirimkan fotomu disana ke ayah. Ayah ibumu ini nanti akan dengan bangga menunjukkannya ke orang-orang sebagai orang tua dari bos besar perusahaan multinasional”.

Tidak perlu lagi berharap mereka bertanya bagaimana perasaanku atau alasanku menandatangani kontrak itu. Meski hanya itu saja yang ingin aku dengar. Ya, itu saja.

Rabu, 17 September 2014

Dingin, Hangat, atau Panas?

Dingin membekukan. Panas membakar. Hangat melindungi.
Jaga kehangatan dalam keluarga, kendalikan emosi, perbaiki komunikasi, ini dapat melindungi suasana keluarga. Mengobrol, berdiskusi, bercanda, berlibur, makan bersama, beri hadiah, dan lainnya. Adakan momen menyenangkan bersama, ini menyehatkan oang tua, juga baik untuk perkembangan anak.
Ini penting!

Anda Punya Pegangan?

Wajarnya, semakin dewasa makin sensitif perasaannya.
Semakin tajam pisau, tanganmu makin mudah mengiris, pun makin mudah teriris. Semakin peka atas perasaan sakit orang lain, sekaligus semakin mudah perasaannya tersakiti orang lain.
Tapi ... asal pisau ada pegangannya, aman saja.
Anda punya pegangan?

Jadilah Anak Nakal

Adek kecil, jadilah - yang mereka sebut - anak nakal, milikilah jiwa petualang dan ingin tahu yang besar, temukan banyak kesalahan, pergilah jauh, ketahui banyak hal. Meski orang tua begitu tegas mengikatmu dengan ketakutan mereka. Karena dengan begitu menjadikanmu lekas dewasa dan bijak.
Orang tua, sungguh berhati-hatilah terhadap anak yang lama sekali baik. Tapi saat semestinya ia dewasa, besar sekali rasa penasaran dan inginnya mencoba kenakalan, di waktu yang terlambat.
Pikirkan.

Minggu, 13 Juli 2014

Anak Fotocopy

Secara alamiah, anak mengimitasi orang tuanya. Seperti fotocopy.
Maka hapuslah sifat buruk pada kertas Anda segera, sebelum terlambat menyadari bahwa tulisan hasil fotocopy sulit dihapus.